Halaman

Kamis, 04 Desember 2014

Merayakan Tahun Baru 2015, So What?

Merayakan Tahun Baru 2015, So What?
Tak terasa waktu terus berlalu dan kita sampai di penghujung tahun. Dalam beberapa hari ke depan, tahun 2014 akan segera berganti, dan tahun 2015 akan menjelang. Ini tahun baru Masehi, tentu saja, karena tahun baru Hijriyah telah terjadi beberapa waktu yang lalu.

Malam pergantian tahun baru masehi sangat ditunggu-tunggu oleh semua kalangan. Tidak saja dibelahan bumi lain seperti di Eropa dan Amerika, masyarakat kita juga sibuk dan sangat menanti-nantikan malam pergantian tahun tersebut.Bagaimana syari'at Islam memandandang fenomena ini? Simak poin-poin berikut ini:


Fakta Sejarah
Perayaan tahun baru masehi memiliki sejarah panjang. Banyak di antara orang-orang yang ikut merayakan hari itu tidak mengetahui kapan pertama kali acara tersebut diadakan dan latar belakang mengapa hari itu dirayakan. Kegiatan ini merupakan pesta warisan dari masa lalu yang dahulu dirayakan oleh orang-orang Romawi. Mereka (orang-orang Romawi) mendedikasikan hari yang istimewa ini untuk seorang dewa yang bernama Janus, The God of Gates, Doors, and Beeginnings. Janus adalah seorang dewa yang memiliki dua wajah, satu wajah menatap ke depan dan satunya lagi menatap ke belakang, sebagai filosofi masa depan dan masa lalu, layaknya momen pergantian tahun. (G Capdeville “Les épithetes cultuels de Janus” inMélanges de l’école française de Rome (Antiquité), hal. 399-400)

Fakta ini menyimpulkan bahwa perayaan tahun baru sama sekali tidak berasal dari budaya kaum muslimin. Pesta tahun baru masehi, pertama kali dirayakan orang kafir, yang notabene masyarakat paganis Romawi.

Acara ini terus dirayakan oleh masyarakt modern dewasa ini, walaupun mereka tidak mengetahui spirit ibadah pagan adalah latar belakang diadakannya acara ini. Mereka menyemarakkan hari ini dengan berbagai macam permainan, menikmati indahnya langit dengan semarak cahaya kembang api, dsb.
Tahun Baru = Hari Raya Orang Kafir

Muslimin Merayakan Hari Raya Orang Kafir, So What?
Turut merayakan tahun baru statusnya sama dengan merayakan hari raya orang kafir. Dan ini hukumnya terlarang. Di antara alasan statement ini adalah:

Pertama, turut merayakan tahun baru sama dengan meniru kebiasaan mereka. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kita untuk meniru kebiasaan orang jelek, termasuk orang kafir. Beliau bersabda,

من تشبه بقوم فهو منهم

“Siapa yang meniru kebiasaan satu kaum maka dia termasuk bagian dari kaum tersebut.” (Hadis shahih riwayat Abu Daud)

Abdullah bin Amr bin Ash mengatakan,

من بنى بأرض المشركين وصنع نيروزهم ومهرجاناتهم وتشبه بهم حتى يموت خسر في يوم القيامة

“Siapa yang tinggal di negeri kafir, ikut merayakan Nairuz dan Mihrajan (hari raya orang majusi), dan meniru kebiasaan mereka, sampai mati maka dia menjadi orang yang rugi pada hari kiamat.”

Kedua, mengikuti hari raya mereka termasuk bentuk loyalitas dan menampakkan rasa cinta kepada mereka. Padahal Allah melarang kita untuk menjadikan mereka sebagai kekasih (baca: memberikan loyalitas) dan menampakkan cinta kasih kepada mereka. Allah berfirman,

يا أيها الذين آمنوا لا تتخذوا عدوي وعدوكم أولياء تلقون إليهم بالمودة وقد كفروا بما جاءكم من الحق …

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (rahasia), karena rasa kasih sayang; padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu..” (QS. Al-Mumtahanan: 1)

Ketiga, Hari raya merupakan bagian dari agama dan doktrin keyakinan, bukan semata perkara dunia dan hiburan. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam datang di kota Madinah, penduduk kota tersebut merayakan dua hari raya, Nairuz dan Mihrajan. Beliau pernah bersabda di hadapan penduduk madinah,

قدمت عليكم ولكم يومان تلعبون فيهما إن الله عز و جل أبدلكم بهما خيرا منهما يوم الفطر ويوم النحر

“Saya mendatangi kalian dan kalian memiliki dua hari raya, yang kalian jadikan sebagai waktu untuk bermain. Padahal Allah telah menggantikan dua hari raya terbaik untuk kalian; idul fitri dan idul adha.” (HR. Ahmad, Abu Daud, dan Nasa’i).

Perayaan Nairuz dan Mihrajan yang dirayakan penduduk madinah, isinya hanya bermain-main dan makan-makan. Sama sekali tidak ada unsur ritual sebagaimana yang dilakukan orang majusi, sumber asli dua perayaan ini. Namun mengingat dua hari tersebut adalah perayaan orang kafir, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarangnya. Sebagai gantinya, Allah berikan dua hari raya terbaik: Idul Fitri dan Idul Adha. Untuk itu, turut bergembira dengan perayaan orang kafir, meskipun hanya bermain-main, tanpa mengikuti ritual keagamaannya, termasuk perbuatan yang telarang, karena termasuk turut mensukseskan acara mereka.

Keempat, Allah berfirman menceritakan keadaan ‘ibadur rahman (hamba Allah yang pilihan),

و الذين لا يشهدون الزور …

“Dan orang-orang yang tidak turut dalam kegiatan az-Zuur…”
Sebagian ulama menafsirkan kata ‘az-Zuur’ pada ayat di atas dengan hari raya orang kafir. Artinya berlaku sebaliknya, jika ada orang yang turut melibatkan dirinya dalam hari raya orang kafir berarti dia bukan orang baik.


Fatwa Ulama: Al-Lajnah Ad-Da'imah Lil Buhuts Al-Ilmiah wal Ifta ditanya :[0]

1. Pada beberapa hari belakangan ini, kami menyaksikan betapa gencarnya liputan mass-media mass-media (cetak maupun elektronik) dalam rangka menyambut datangnya tahun 2000M dan permulaan Milenium Ketiga seputar kejadian-kejadian dan prosesi-prosesinya. Terlihat bahwa orang-orang kafir dari kalangan Yahudi dan Nashrani serta selain mereka begitu suka cita menggantungkan harapan-harapan dengan adanya hal itu.

Pertanyaannya, wahai Syaikh yang mulia. Sesungguhnya sebagian mereka yang menisbatkan diri sebagai orang Islam telah juga menunjukkan perhatiannya terhadap hal ini dan menganggapnya sebagai momentum bahagia sehingga mengaitkan hal itu dengan pernikahan, pekerjaan mereka atau memajang/menempelkan pengumuman tentang hal itu di altar-altar perdagangan atau perusahaan mereka dan lain sebagainya yang menimbulkan dampak negatif bagi seorang Muslim.

Dalam hal ini, apakah hukum mengangungkan momentum seperti itu dan menyambutnya serta saling mengucapkan selamat karenanya, baik secara lisan, melalui kartu khusus yang dicetak dan lain sebagainya, menurut syari'at Islam ? Semoga Allah memberikan ganjaran pahala kepada anda atas amal shalih terhadap Islam dan kaum Muslimin dengan sebaik-baik ganjaran.

2. Dalam versi pertanyaan yang lain : Orang-orang Yahudi dan Nashrani bersiap-siap untuk menyambut datang tahun baru 2000 Masehi berdasarkan sejarah mereka dalam bentuk yang tidak lazim demi mempromosikan program-program serta keyakinan-keyakinan mereka di seluruh dunia, khususnya di negeri-negeri Islam.

Sebagian kaum Muslimin telah terpengaruh dengan promosi ini sehingga mereka nampak mempersiapkan segala sesuatunya untuk hal itu, dan di antara mereka ada yang mengumumkan potongan harga (diskon) atas barang dagangannnya spesial buat momentum ini. Kiranya, dikhawatirkan kelak hal ini berkembang menjadi aqidah kaum Muslimin di dalam ber-wala' (loyal) terhadap orang-orang non Muslim.

Kami berharap mendapatkan penjelasan anda seputar hukum keikutsertaan kaum Muslimin dalam momentum-momentum kaum kafir, mempromosikan hal itu dan menyambutnya. Demikian juga hukum menon-aktifkan kegiatan kerja oleh sebagian lembaga dari perusahaan berkenaan dengan hal itu.

Apakah melakukan sesuatu dari hal-hal tersebut dan semisalnya atau rela terhadapnya mempengaruhi aqidah seorang Muslim ?

Jawaban:

Sesungguhnya nikmat yang paling besar yang dianugrahkan oleh Allah kepada para hambaNya adalah nikmat Islam dan hidayah kepada jalanNya yang lurus. Di antara rahmatNya pula, Allah Ta'ala mewajibkan kepada para hambaNya, kaum Mukminin, agar memohon hidayahNya di dalam shalat-shalat mereka. Mereka memohon kepadaNya agar mendapatkan hidayah ke jalan yang lurus dan mantap di atasnya. Dalam hal ini, Allah Ta'ala telah memberikan spesifikasi jalan (shirath) ini sebagai jalan para Nabi, Ash-Shiddiqin, Syuhada dan orang-orang shalih yang Dia anugrahkan nikmatNya kepada mereka. Jadi, bukan jalan orang-orang yahudi, nashrani dan seluruh orang-orang kafir dan musyrik yang menyimpang darinya.

Bila hal ini sudah diketahui, maka adalah wajib bagi seorang Muslim untuk mengenal kadar nikmat Allah kepadanya sehingga dengan itu, dia mau bersyukur kepadaNya melalui ucapan, perbuatan dan keyakinan. Dalam pada itu, dia juga akan menjaga nikmat ini dan membentenginya serta melakukan sebab-sebab yang dapat menjaga hilangnnya nikmat tersebut.

Bagi orang yang diberikan bashiroh (pemahaman mendalam) terhadap Dienullah di saat kondisi dunia dewasa ini yang diselimuti oleh pencampuradukan antara al-haq dan kebatilan pada kebanyakan orang, dia akan mengetahui dengan jelas upaya keras yang dilakukan oleh musuh-musuh Islam untuk menghapus kebenarannya dan memadamkan cahayanya, upaya menjauhkan kaum Muslimin darinya serta memutuskan kontak mereka dengannya melalui berbagai sarana yang memungkinkan. Belum lagi, upaya memperburuk citra Islam dan melabelkan tuhudan dan kebohongan-kebohongan terhadanya guna menghadang seluruh manusia dari jalan Allah dan dari beriman kepada wahyu yang diturunkan kepada RasulNya, Muhammad bin Abdullah. Pembenaran statement ini dibuktikan oleh firman-firman Allah Ta'ala.

"Sebagian besar ahli kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kami beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran" [QS Al-Baqarah 2:109]

"Segolongan dari ahli kitab ingin menyesatkan kamu, padahal mereka (sebenarnya) tidak menyesatkan melainkan dirinya sendiri, dan mereka tidak menyadarinya" [QS Ali-Imran 3:69]

"Hai orang-orang yang beriman, jika kamu mentaati orang-orang yang kafir itu, niscaya mereka mengembalikan kamu ke belakang (kepada kekafiran), lalu jadilah kamu orang-orang yang rugi" [QS Ali-Imran 3:149]

"Katakanlah, Hai ahli kitab, mengapa kamu menghalang-halangi dari jalan Allah orang-orang yang telah beriman, kamu menghendakinya menjadi bengkok, padahal kamu menyaksikan, "Allah sekali-kali tidak lalai dari apa yang kamu kerjakan" [QS Ali Imran 3:99]

Dan ayat-ayat lainnya. Akan tetapi meskipun demikian, Allah Ta'ala telah berjanji untuk mejaga dienNya dan kitabNya, dalam firmanNya.

"Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur'an dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya" [QS Al-Hijr 15:9]

Segala puji bagi Allah dengan pujian yang banyak.

Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam telah memberitakan bahwa akan selalu muncul suatu golongan dari umatnya yang berjalan di atas al-haq, tidak membahayakan mereka orang yang menghinakan mereka ataupun menentang mereka hingga terjadi hari Kiamat. Segala puji bagi Allah pujian yang banyak dan kita memohon kepadaNya Yang Maha Dekat dan Mengabulkan Permohonan agar menjadikan kita dan saudara-saudara kita kaum Muslimin termasuk dari golongan tersebut, sesungguhnya Dia Maha Pemurah lagi Maha Mulia.

Dengan ini, Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Buhuts Ilmiah wal Ifta setelah mendengar dan melihat adanya penyambutan yang demikian meriah dan perhatian yang serius dan beberapa golongan orang-orang Yahudi dan Nashrani serta orang-orang yang menisbatkan diri kepada Islam yang terpengaruh oleh mereka berkenaan dengan telah berakhirnya momentum tahun 2000 dan menyongsong Milenium Ketiga menurut Kalender Masehi, maka suka tidak suka, Lajnah Daimah Lil Buhuts Ilmiah wal Ifta wajib memberikan nasehat dan penjelasan kepada seluruh kaum Muslimin tentang hakikat momentum ini serta hukum syariat yang suci ini terhadapnya sehingga kaum Muslimin memahami dengan baik dien mereka dan berhati-hati. Dengan demikian, tidak terjerumus ke dalam kesesatan-kesesatan orang-orang yahudi yang dimurkai dan orang-orang nashrani yang sesat.

Karenanya, kami menyatakan.
Pertama.

Sesungguhnya orang-orang Yahudi dan Nashrani menggantungkan kejadian-kejadian, keluh-kesah dan harapan-harapan mereka kepada momentum Milenium ini dengan begitu yakin akan terealisasinya hal itu atau paling tidak, hampir demikian karena menurut anggapan mereka hal ini sudah melalui proses kajian dan penelitian. Demikian pula, mereka mengait-ngaitkan sebagian permasalahan aqidah mereka dengan momentum ini dengan anggapan bahwa hal itu berasal dari ajaran kitab-kitab mereka yang sudah dirubah. Jadi, adalah wajib bagi seorang Muslim untuk tidak menoleh kepada hal itu dan tergoda olehnya bahkan semestinya merasa cukup dengan Kitab Rabbnya Ta'ala dan Sunnah Nabinya Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dan tidak memerlukan lagi selain keduanya. Sedangkan teori-teori dan pendapat-pendapat yang bertentangan dengan keduanya, ia tidak lebih hanya sekedar berupa ilusi belaka.

Kedua.

Momentum ini dan semisalnya tidak luput dari pencampuradukan antara al-haq dan kebatilan, propaganda kepada kekufuran, kesesatan, permisivisme (serba boleh) dan atheisme serta pemunculan sesuatu yang menurut syari'at adalah sesuatu yang mungkar. Di antara hal itu adalah propaganda kepada penyatuan agama-agama (pluralisme), penyamaan Islam dengan aliran-aliran dan sekte-sekte sesat lainnya, penyucian terhadap salib dan penampakan syi'ar-syi'ar kekufuran yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi dan Nashrani serta perbuatan-pebuatan dan ucapan-ucapan semisal itu yang mengandung beberapa hal ; bisa jadi, pernyataan bahwa syari'at Yahudi dan Nashrani yang sudah diganti dan dihapus tersebut dapat menyampaikan kepada Allah. Bisa jadi pula, berupa anggapan baik terhadap sebagian dari ajaran kedua agama tersebut yang bertentangan dengan dien al-Islam. Atau hal selain itu yang merupakan bentuk kekufuran kepada Allah dan RasulNya, kepada Islam dan ijma' umat ini. Belum lagi, hal itu adalah sebagai salah satu sarana westernisasi kaum Muslimin dari ajaran-ajaran agama mereka.

Ketiga

Banyak sekali dalil-dalil dari Kitabullah, as-Sunnah dan atsar-atsar yang shahih yang melarang untuk menyerupai orang-orang kafir di dalam hal yang menjadi ciri dan kekhususan mereka. Di antara hal itu adalah menyerupai mereka dalam perayaan hari-hari besar dan pesta-pesta mereka. Hari besar ('Ied) maknanya (secara terminologis) adalah sebutan bagi sesuatu, termasuk didalamnya setiap hari yang datang kembali dan terulang, yang diagung-agungkan oleh orang-orang kafir. Atau sebutan bagi tempat orang-orang kafir dalam menyelenggarakan perkumpulan keagamaan. Jadi, setiap perbuatan yang mereka ada-adakan di tempat-tempat atau waktu-waktu seperti ini maka itu termasuk hari besar ('Ied) mereka. Karenanya, larangannya bukan hanya terhadap hari-hari besar yang khusus buat mereka saja, akan tetapi setiap waktu dan tempat yang mereka agungkan yang sesungguhnya tidak ada landasannya di dalam dien Islam, demikian pula, perbuatan-perbuatan yang mereka ada-adakan di dalamnya juga termasuk ke dalam hal itu. Ditambah lagi dengan hari-hari sebelum dan sesudahnya yang nilai religiusnya bagi mereka sama saja sebagaimana yang disinggung oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah. Di antara ayat yang menyebutkan secara khusus larangan menyerupai hari-hari besar mereka adalah firmanNya.

"Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu" [QS Al-Furqan 25:72]

Ayat ini berkaitan dengan salah satu sifat para hamba Allah yang beriman. Sekelompok Salaf seperti Ibnu Sirin, Mujahid dan Ar-Rabi' bin Anas menafsirkan kata "Az-Zuura" (di dalam ayat tersebut) sebagai hari-hari besar orang kafir.

Dalam hadits yang shahih dari Anas bin Malik Radhiyallahu 'anhu, dia berkata, Saat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam datang ke Madinah, mereka memiliki dua hari besar ('Ied) untuk bermain-main. Lalu beliau bertanya, "Dua hari untuk apa ini ?". Mereka menjawab, "Dua hari di mana kami sering bermain-main di masa Jahiliyyah". Lantas beliau bersabda.

"Sesungguhnya Allah telah menggantikan bagi kalian untuk keduanya dua hari yang lebih baik dari keduanya : Iedul Adha dan Iedul Fithri" [1]

Demikian pula terdapat hadits yang shahih dari Tsabit bin Adl-Dlahhak Radhiyallahu 'anhu bahwasanya dia berkata, "Seorang laki-laki telah bernadzar pada masa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam untuk menyembelih onta sebagai qurban di Buwanah. Lalu dia mendatangi Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam sembari berkata.

"Sesungguhnya aku telah bernadzar untuk menyembelih onta sebagai qurban di Buwanah. Lalu Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bertanya, 'Apakah di dalamnya terdapat salah satu dari berhala-berhala Jahiliyyah yang disembah ? Mereka menjawab, 'Tidak'. Beliau bertanya lagi. 'Apakah di dalamnya terdapat salah satu dari hari-hari besar mereka ?'. Mereka menjawab, 'Tidak'. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda, 'Tepatilah nadzarmu karena tidak perlu menepati nadzar di dalam berbuat maksiat kepada Allah dan di dalam hal yang tidak dipunyai (tidak mampu dilakukan) oleh manusia" [2]

Umar bin Al-Khaththtab Radhiyallahu 'anhu berkata, "Janganlah kalian mengunjungi kaum musyrikin di gereja-gereja (rumah-rumah ibadah) mereka pada hari besar mereka karena sesungguhnya kemurkaan Allah akan turun atas mereka" [3]

Dia berkata lagi, "Hindarilah musuh-musuh Allah pada momentum hari-hari besar mereka" [4]

Dan dari Abdullah bin Amr bin Al-Ash Radhiyallahu 'anhu, dia berkata, "Barangsiapa yang berdiam di negeri-negeri orang asing, lalu membuat tahun baru dan festival seperti mereka serta menyerupai mereka hingga dia mati dalam kondisi demikian, maka kelak dia akan dikumpulkan pada hari kiamat bersama mereka" [5]

Keempat.

Merayakan hari-hari besar orang-orang kafir juga dilarang karena alasan-alasan yang banyak sekali, di antaranya :
(a). Menyerupai mereka dalam sebagian hari besar mereka mengandung konsekwensi bergembira dan membuat mereka berlapang dada terhadap kebatilan yang sedang mereka lakukan.

(b). Menyerupai mereka dalam gerak-gerik dan bentuk pada hal-hal yang bersifat lahiriah akan mengandung konsekwensi menyerupai mereka pula dalam gerak-gerik dan bentuk pada hal-hal yang bersifat batiniah yang berupa 'aqidah-aqidah batil melalui cara mencuri-curi dan bertahap lagi tersembunyi.

Dampak negatif yang paling besar dari hal itu adalah menyerupai orang-orang kafir secara lahiriah akan menimbulkan sejenis kecintaan dan kesukaan serta loyalitas secara batin. Mencintai dan loyal terhadap mereka menafikan keimanan sebagaimana firman Allah Ta'ala.

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nashrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu) ; sebagaimana mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin ; maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zhalim" [QS Al-Maidah 5:51]

Dan firmanNya.

"Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan RasulNya" [QS Al-Mujadillah 58:22]

Kelima.

Berdasarkan paparan yang telah dikemukakan di atas, maka tidak boleh hukumnya seorang Muslim yang beriman kepada Allah sebagai Rabb dan Islam sebagai agama serta Muhammad sebagai Nabi dan Rasul, mengadakan perayaan-perayaan hari-hari besar yang tidak ada landasannya dalam dien Islam, termasuk diantaranya pesta 'Milenium' rekaan tersebut. Juga, tidak boleh hadir pada acaranya, berpartisipasi dan membantu dalam pelaksanaannya dalam bentuk apapun karena hal itu termasuk dosa dan melampaui aturan-aturan Allah sedangkan Allah sendiri terlah berfirman, "Dan janganlah bertolong-tolongan di atas berbuat dosa dan melampaui batas, bertakwalah kepada Allah karena sesungguhnya Allah amat pedih siksaanNya" [QS Al-Maidah 5:2]

Keenam.

Seorang Muslim tidak boleh saling tolong menolong dengan orang-orang kafir dalam bentuk apapun dalam hari-hari besar mereka. Di antara hal itu adalah mempromosikan dan mengumumkan hari-hari besar mereka, termasuk pesta 'milenium' rekaan tersebut. Demikian pula, mengajak pada hal itu dengan sarana apapun baik melalui mass media, memasang jam-jam dan pamflet-pamflet bertuliskan angka, membuat pakaian-pakaian dan plakat-plakat kenangan, mencetak kartu-kartu dan buku-buku tulis sekolah, memberikan diskon khusus pada dagangan dan hadiah-hadiah uang dalam rangka itu, kegiatan-kegiatan olah raga ataupun menyebarkan symbol khusus untuk hal itu.

Ketujuh

Seorang Muslim tidak boleh menganggap hari-hari besar orang-orang kafir, termasuk pesta Milenium rekaan tersebut sebagai momentum-momentum yang membahagiakan atau waktu-waktu yang diberkahi sehingga karenanya meliburkan pekerjaan, menjalin ikatan perkawinan, memulai aktivitas bisnis, membuka proyek-proyek baru dan lain sebagainya. Tidak boleh dia meyakini bahwa hari-hari seperti itu memiliki keistimewaan yang tidak ada pada hari selainnya karena hari-hari tersebut sama saja dengan hari-hari biasa lainnya, dan karena hal ini merupakan keyakinan yang rusak yang tidak dapat merubah hakikat sesuatu bahkan keyakinan seperti ini adalah dosa di atas dosa, kita memohon kepada Allah agar diselamatkan di terbebas dari hal itu.

Kedelapan

Seorang Muslim tidak boleh mengucapkan selamat terhadap hari-hari besar orang-orang kafir karena hal itu merupakan bentuk kerelaan terhadap kebatilan yang tengah mereka lakukan dan membuat mereka bergembira, karenanya Ibnu Al-Qayyim berkata " Adapun mengucapkan selamat terhadap syi'ar-syi'ar keagamaan orang-orang kafir yang khusus bagi mereka, maka haram hukumnya menurut kesepakatan para ulama, seperti mengucapkan selamat dalam rangka hari-hari besar mereka dan puasa mereka, seperti mengucapkan 'Semoga hari besar ini diberkahi' atau ucapan semisalnya dalam rangka hari besar tersebut. Dalam hal ini, kalaupun pengucapnya lolos dari kekufuran akan tetapi dia tidak akan lolos dari melakukan hal yang diharamkan. Hal ini sama posisinya dengan bilamana dia mengucpkan selamat karena dia (orang kafir) itu sujud terhadap salib. Bahkan, dosa dan kemurkaan terhafap hal itu lebih besar dari sisi Allah ketimbang mengucapkan selamat atas minum khamr, membunuh jiwa yang tidak berdosa, berzina dan semisalnya. Banyak sekali orang yang tidak memiliki sedikitpun kadar dien pada dirinya terjerumus ke dalam hal itu dan dia tidak menyadari jeleknya perbuatannya. Maka, siapa saja yang mengucapkan selamat kepada seorang hamba karena suatu maksiat, bid'ah atau kekufuran yang dilakukannya, berarti dia telah mendapatkan kemurkaan dan kemarahan Allah"

Kesembilan.
Adalah suatu kehormatan bagi kaum Muslimin untuk berkomitmen terhadap sejarah hijrah Nabi mereka, Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam yang disepakati pula orang para sahabat beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam secara ijma' dan mereka jadikan kalender tanpa perayaan apapun. Hal itu kemudian diteruskan secara turun temurun oleh kaum Muslimin yang datang setelah mereka, sejak 14 abad yang lalu hingga saat ini. Karenaya seorang Muslim tidak boleh mengalihkan penggunaan kalender Hijriah kepada kelender umat-umat selainnya, seperti kalender Masehi ini ; karena termasuk perbuatan menggantikan yang lebih baik dengan yang lebih jelek. Dari itu kami wasiatkan kepada seluruh saudara-saudara kami, kaum Muslimin, agar bertaqwa kepada Allah dengan sebenar-sebenar takwa, berbuat ta'at dan menjauhi kemaksiatan terhadapNya serta saling berwasiat dengan hal itu dan sabar atasnya.

Hendaknya setiap Mukmin yang menjadi penasehat bagi dirinya dan antusias terhadap keselamatannya dari murka Allah dan laknatNya di dunia dan Akhirat berusaha keras di dalam merealisasikan ilmu dan iman, menjadikan Allah semata sebagai Pemberi petunjuk, Penolong, Hakim dan Pelindung, karena sesungguhnya Dia-lah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong. Cukuplah Rabbmu sebagai Pemberi Petunjuk dan Penolong serta berdo'alah selalu dengan do'a Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam berikut ini.

"Ya, Allah, Rabb Jibril, Mikail, Israfil. Pencipta lelangit dan bumi. Yang Maha Mengetahui hal yang ghaib dan nyata. Engkau memutuskan hal yang diperselisihkan di antara para hambaMu, berilah petunjuk kepadaku terhadap kebenaran yang diperselisihkan dengan idzinMu, sesungguhnya Engkau menunjuki orang yang Engkau kehendaki ke jalan yang lurus" [6]

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam.

Wa Shallallahu 'ala Nabiyyina Muhammad Wa Alihi Wa Shahbihi

[Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Buhuts Al-Ilmiah Wal Ifta, No. 21049, tgl. 12-08-1420]

__________
Foote Note
[0]. Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar'iyyah Fi Al-Masa'il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Darul Haq
[1]. Dikelaurkan oleh Imam Ahmad di dalam Musnadnya, No. 11595, 13058, 13210. Sunan Abu Daud, kitab Ash-Shalah No. 1134, Sunan An-Nasa'i, Kitab Shalah Al-Iedain, No. 1556 dengan sanad yang shahih.
[2]. Dikeluarkan oleh Abu Daud, Kitab Al-Aiman Wa An-Nadzar, No. 3313 denan sanad shahih.
[3]. Dikeluarkan oleh Imam Al-Baihaqy No. 18640
[4]. Ibid No. 18641
[5]. 'Aun Al-Ma'bud Syarh Sunan Abi Daud, Syarh hadits no. 3512
[6]. Dikeluarkan oleh Imam Muslim di dalam shahihnya, Kitab Shalah Al-Musafirin, No. 770

Tidak ada komentar:

Posting Komentar